Aku, Manusia Mata Duitan

Nur Sabilly
5 min readApr 25, 2021

--

Photo by Jon Flobrant on Unsplash

Seperti biasa, aku mengelap meja setelah merasa cukup bekerja di malam itu. Pergi ke kamar mandi hanya sekadar membersihkan diri sebelum tidur dan cukuplah ditutup dengan satu sampai dengan dua gelas air agar tenggorokanku tidak kering. Tentunya, tak lupa pula ritual sebelum tidur seperti berdoa kepada Yang MahaKuasa. Untuk apa? Agar aku selamat — kata orang-orang di luar sana.

Tidak seperti mayoritas orang yang memiringkan badan, memeluk guling lalu 10 hingga 20 menit kemudian terdengar suara dengkuran tanda bahwa mereka terlelap, aku berbeda, aku tidak demikian. Rasa penasaranku terhadap jawaban pertanyaan mengurangi rasa kantukku yang sudah cukup berat. Aku terjaga seraya bertanya, “Kapan orang-orang dapat tertidur lelap tanpa dihantui kalimat tanya, ‘apakah aku dan keluargaku bisa makan esok atau lusa?’”

Sudah menjadi kebiasaanku ketika menulis baris demi baris kode, Youtube music memutar lagu-lagu Jepang secara acak. Tentunya lagu bertangga nada mayor. Alasannya? Karena biasanya pembawaannya yang gembira dan menyenangkan bukan nada menyedihkan. Ketika merasa cukup lelah, aku berpindah jendela menuju peramban yang sedang memutar lagu itu. Mataku melihat sesuatu yang menarik. Ini berbeda dengan yang kupercayai sebelumnya. Sedih dalam tangga nada mayor.

幸せの文字が¥を含むのは何でなんでしょうか。
一つ線を抜けば辛さになるのはわざとなんでしょうか。

Lagu itu berjudul Hitchcock yang dipopulerkan oleh Yorushika, duo asal Jepang. Kurang lebih begini terjemahan potongan lirik tersebut dalam bahasa Indonesia.

Mengapa di dalam karakter untuk 幸 (kebahagiaan) terdapat simbol ¥ (uang), ya?
Apakah itu (幸/kebahagiaan) jika satu garisnya hilang maka menjadi karakter 辛 (rasa sakit)?

Hal tersebut menyentil hatiku. Tangan yang memegang prinsip bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan sedikit mengendurkan cengkeramannya. Aku perlu bertanya lagi, “benarkah begitu?”

“Setiap malam saja aku selalu sulit tidur, malah ditambah pertanyaan begini. Hadeh. Lebih baik segera aku mencari jawabannya, setidaknya menjawab rasa penasaranku meskipun hanya 34% saja.” Batinku.

Aku berikhtiar dengan membaca literatur tentang hubungan antara kemiskinan dengan uang atau uang dengan kebahagiaan. Ya, setidaknya hanya inilah yang bisa kulakukan saat ini. Mereka, para penulis, adalah guru untuk sementara waktu. Aku berharap banyak dari tulisannya.

Mereka (orang miskin) menganggap uang adalah sumber kejahatan. Kriminal melakukan kejahatan atas dasar uang. Lain halnya dengan orang kaya, mereka menganggap uang adalah alat untuk mempermudah hidup dan jalan menuju kebaikan. Dengan uang, para dermawan membagikan beras berkwintal-kwintal untuk orang yang membutuhkan.

Mereka (orang miskin) menganggap orang kaya memiliki sifat kikir, tamak dan egois. Mungkin masih banyak lagi sifat buruk yang disematkan kepadanya. Sebaliknya, mereka (orang kaya) melihat orang miskin sebagai orang yang perlu dibantu, dilindungi dan diedukasi.

Mereka (orang miskin) alih-alih menyalakan lilin, mereka lebih suka mengutuk gelapnya ruangan. Berbeda dengan yang dilakukan orang kaya, mereka akan melakukan hal yang masuk akal seperti menyalakan lampu atau lilin daripada diam dan duduk di dalam ruangan yang gelap.

Aku berkesimpulan bahwa status kaya dan miskin bukan hanya berdasar pada jumlah uang yang ada di dompet mereka atau jumlah aset di dalam portofolio sahamnya. Ini tentang mentalitas, jalan berpikir, nilai atau apapun orang menyebutnya. Yang jelas itu adalah hal abstrak yang tidak bisa dilihat oleh mata dan divisualisasikan oleh pikiran.

Kondisi finansial hanya sebagai salah satu atribut yang digunakan oleh orang-orang untuk mempermudah regulasi dalam penggolongan kelas kaya dan miskin. Jumlah uang seseorang dapat diukur tapi tidak dengan jalan pikiran seseorang, hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memahami. Karena itu aku benci menyebut diriku bermental miskin daripada secara finansial digolongkan sebagai kelas miskin. Aku tidak ingin itu.

Aku mengakui bahwa aku pernah bermental miskin yaitu bagaimana masalah yang berkaitan dengan finansial, mencekik pikiran sadarku. Mengutuk mereka yang kaya dengan sebutan ‘sang pemenang dalam judi’. Artinya, kekayaan mereka tidak lain dan tidak bukan adalah karena angka dadu yang mereka tebak menghadap ke atas. Ah, malu sekali. Cukup sampai disini saja.

Semakin aku mempelajari tentang uang, semakin aku mempunyai harapan bahwa aku bisa memegang kendali atas uang. Anggapan kuno serta bias tentang uang dalam pikiranku secara perlahan menghilang. Bukan suatu hal yang mengherankan apabila ada seseorang yang kini menganggapku sebagai liberalis anti hutang.

Biarlah atas diriku ini disematkan hal yang buruk oleh orang lain seperti cinta dunia atau bahkan memberiku saran seperti, “Pikirkan saja akhiratmu, bro!” Ya, itu memang benar. Tidak bisa aku sangkal pernyataaannya. Mulai saat ini aku cinta dunia.

“Dunia itu fana, bro!” kata mereka. Aku jawab, “Justru karena dunia sementara, aku hanya memiliki waktu yang terbatas, aku harus menyelesaikan semua tugasku didunia dengan baik sebelum aku dipanggil kembali ke pangkuan-Nya. Aku ingin membuat semua orang-orang disekitarku bahagia. Yang lebih penting, ketika aku menghadap Yang MahaKuasa nanti aku bisa berbangga, aku bisa dermawan seperti yang diharapkan-Nya.”

“Akhirat itu lebih baik daripada dunia, bro!” kata mereka. Aku jawab, “Benar, akhirat lebih baik daripada dunia karena kita berasumsi bahwa akhirat sama dengan surga. Lain ceritanya jika neraka yang dimaksud oleh kita. Lagipula dimana lagi kita mempersiapkan bekal untuk makan dan membuat istana di alam kedua jika bukan di dunia yang fana?”

Pikirmu, siapa yang disebut tidak bersyukur? Orang yang berusaha keluar dari kemiskinan atau mereka yang selalu menyalahkan keadaan?

Dari Abu Hurairah Ra., Nabi Muhammad saw, beliau bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta dunia, akan tetapi kekayaan yang hakiki itu adalah kaya akan jiwa.” (HR Al-Bukhäri-Muslim).

Ketika membaca sejarah hidup tentang sosok idola semua orang, Nabi Muhammad saw, semakin menguatkan keyakinanku atas miskin adalah tentang mentalitas bukan kondisi yang terbatas.

Bagaimana bisa baginda Nabi Muhammad saw meminang sayyidina Khadijah ra dengan 20 unta bakrah jika tidak memiliki uang?

Bagaimana bisa sahabat Utsman bin Affan ra membeli sumur dari seorang Yahudi dengan harga 12.000 dirham jika tidak memiliki uang?

Bagaimana bisa sahabat Abdurrahman bin Auf menyumbangkan 700 ekor unta lengkap dengan barang dagangannya kepada fisabilillah jika tidak memiliki uang?

Sekiranya sudah tidak cukup tegang. Kekhawatiranku tentang kondisi finansial pada masa yang akan datang sedikit berkurang. Otak, kini tugasmu adalah memikirkan bagaimana mendapatkan uang dari jalur-jalur yang tidak dilarang. Hati, kini tugasmu adalah mengelola jiwa agar aku tidak terjebak dalam lingkaran hutang. Tangan, kini tugasmu adalah melakukan kebaikan menggunakan ladang-ladang uang. Mata, kini tugasmu adalah melihat uang yang ada di depan meja bukan uang yang jauh disana yang tak mampu kau pandang.

Ada banyak mimpi yang ingin kugapai. Ada rumah yang ingin kubangun. Ada orang tua yang harus kurawat. Ada adik yang harus kusekolahkan. Semuanya tentang senyum orang-orang bukan hanya aku seorang. Cukuplah Tuhan yang setia mendengarkan. Maka aku tak boleh malas untuk mengisahkan.

Bagaimana aku takut miskin jika aku adalah abid dari Yang MahaKaya?

Adipala, 25 April 2021.

--

--

Nur Sabilly

Full Stack Web Developer. Arch Linux User. Learn, Share, Socialize.