Dramaturgi yang Tidak Masuk Akal

Nur Sabilly
2 min readAug 30, 2020

--

Apatah kamu ingin dicintai semua orang? Apatah hadirmu ingin diterima semua orang? Apatah kamu takut terasing, terombang-ambing, pada hampanya samudera kehidupan? Perlukah kamu menjawabnya?

“Lezat sekali makanan ini. Tidaklah ada makanan yang lebih nikmat selain dari makanan yang disalurkan melalui tali pusarku ini.” Gumam seorang.

“Cukuplah aku bercokol di air ketuban ini. Katakan padaku, apakah ada ruang yang lebih tenang, hangat, dan nyaman selain disini? Tentu, pastilah tidak adanya.” Gumamnya lagi.

Seorang asing, entah siapa.

Sayang, kenikmatan yang lama dirasakannya tidaklah selamanya untuknya. Dimensi abstrak yang disebut waktu merampas paksa miliknya. Siapapun pastilah tidak sedia. Apatah ada seorang?

Hari itu, dia, dengan sangat berat hati acuh perintah itu meninggalkan dunia — yang selama 37 minggu ditinggalinya. Takut, sedih, tak rela, tidak ada perasaan yang menyenangkan. Bahkan, untuk memasang raut muka datar pun sangat sulit. Bergegaslah, aku yang menulis saja tidak tega membacanya.

“Tuhan, aku tidak mau. Kenapa Engkau berkehendak aku untuk memasuki tempat itu? Tidak ada tali pusar, bagaimana aku bisa bertahan hidup tanpa makanan? Tidak ada air ketuban, bagaimana aku bisa bertahan hidup jika aku merasakan bising, dingin, dan melarat? Aku tidak rela Tuhan meninggalkan rahim yang penuh kehangatan ini.” Ratap seorang itu.

Konon, ruang yang akan menjadi rumah barunya itu gelap karena awan benci menggumpal, mendung. Hampa menyepi karena penghuni-penghuni lama saling abai, terasing. Kering gersang karena pohon-pohon kebahagiaan sulit berfotosintesis. Bising karena penghuni-penghuni lama sumpah serapah mengkambing hitamkan satu sama lain. Siapa pula hendak menapakkan kakinya 33 detik saja di ruang seperti itu. Tidak, bahkan sekadar menghirup udaranya saja sudah membuat paru-paru kehilangan fungsinya.

“Itu adalah tempat yang mengerikan, Tuhan. Aku tidak bisa memasukinya. Perhatikan aku yang rapuh dan tidak mampu melihat dengan jelas. Bagaimana penghuni di tempat itu mengerti apa yang aku katakan, sedangkan untuk sekadar mencoba berkata saja, aku harus membasahi pipiku dengan tetesan air mata dan cucuran peluh?” Ucapnya pelan.

“Tuhan, aku hendak meminta sesuatu dari Engkau.”

Bersambung.

--

--

Nur Sabilly
Nur Sabilly

Written by Nur Sabilly

Full Stack Web Developer. Arch Linux User. Learn, Share, Socialize.